Wisanggeni Racut
Ketika Pandawa hendak bertempur melawan Korawa dalam Perang Bharatayuda, para dewa di kaendran Jonggring Saloka menuntut agar Wisanggeni dan Antasena harus tiada agar Pandawa menang di dalam peperangan itu. Pakem wayang ini memang agak unik dan sarat dengan piwulang yang amat luas pengertiannya.
Memang di dunia wayang, dua ksatria Pandawa yang tak mengenal tata krama atau tidak mampu berudanegara ini tak ada yang mampu melawan. Dengan kata lain tanpa tanding.
Antasena kerap disebut sebagai orang bambung, sementara Wisanggeni disebut sebagai orang edan. Antasena mempunyai senjata sungut, sementara Wisanggeni tak mempan segala senjata yang ada di dunia ini. Kedua-duanya mempunyai senjata yang terletak di mulutnya.
Dua ksatria ini lambang keluguan, lambang kesederhanaan, lambang kebersahajaan-prasaja. Ksatria ini juga simbol generasi muda yang ingin agar negaranya makmur, sejahtera, dan orangtuanya jaya di medan perang. Perang dalam hal ini adalah hidup di dunia ini.
Antasena lambang sebuah tekad generasi muda yang siap membedah bumi ibaratnya. Tekad baja dengan bekal semangat dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi semuanya harus dikendalikan, diracut. Demikian pula Wisanggeni, raja api yang berkobar di dalam diri manusia, tak lain dan tak bukan adalah nafsu angkara murka untuk menguasai jagad ini mesti diracut, disirnakan.
Perang di jagad raya ini besarannya adalah perang melawan keangkaramurkaan, kedurjanaan. Namun di dalam hal yang lebih mikro, perang melawan nafsu, melawan sifat-sifat buruk manusia sendiri. Justru di sinilah perang sesungguhnya. Kalau perang melawan keburukan dunia itu gampang dimanifestasikan dalam gerakan moral, gerakan budaya, dan gerakan-gerakan yang lain. Tetapi perang melawan keburukan dan sifat diri yang jelek sulit untuk dimanifestasikan kecuali dengan diam, bertapa, berpuasa, bermatiraga.
Dua ksatria itu memang tidak mengenal udanegara, bukannya mereka tidak tahu, tetapi memang mempunyai tekad dan semangat yang ‘sundul langit’. Walau mereka lugu, tetapi dalam kehidupan perlu keluwesan, perlu strategi, dan perlu penguasaan pancaindera. Pandawa harus menang dengan kekuatan sendiri, tanpa dibantu oleh kekuatan yang luar biasa yang datang dari kekuatan lain. Kemenangan yang dihasilkan dengan kekuatan besar alias kekuasaan itu kemenangan yang wajar, kemenangan yang dipaksakan, bukan lantaran usaha sendiri dengan semangat dan perjuangan sendiri.
Sifat Antasena yang kadangkala terasa kebablasen, demikian pula Wisanggeni yang selalu dalam lindungan SangHyang Wenang harus dihentikan, diracut.
Orang Jawa Bilang ”Yen harsa sumurub urubing tirta, kendalenana taline mega”.
‘Urubing tirta’ merupakan manifestasi rasa, dituntut menahan dan mengendalikan nafsu. Manusia jadi ‘nglegena’ bukan tanpa keinginan, tetapi manusia harus pasrah-narima dan selalu mengalah-mengejar jalan Allah.
Memang di dunia wayang, dua ksatria Pandawa yang tak mengenal tata krama atau tidak mampu berudanegara ini tak ada yang mampu melawan. Dengan kata lain tanpa tanding.
Antasena kerap disebut sebagai orang bambung, sementara Wisanggeni disebut sebagai orang edan. Antasena mempunyai senjata sungut, sementara Wisanggeni tak mempan segala senjata yang ada di dunia ini. Kedua-duanya mempunyai senjata yang terletak di mulutnya.
Dua ksatria ini lambang keluguan, lambang kesederhanaan, lambang kebersahajaan-prasaja. Ksatria ini juga simbol generasi muda yang ingin agar negaranya makmur, sejahtera, dan orangtuanya jaya di medan perang. Perang dalam hal ini adalah hidup di dunia ini.
Antasena lambang sebuah tekad generasi muda yang siap membedah bumi ibaratnya. Tekad baja dengan bekal semangat dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi semuanya harus dikendalikan, diracut. Demikian pula Wisanggeni, raja api yang berkobar di dalam diri manusia, tak lain dan tak bukan adalah nafsu angkara murka untuk menguasai jagad ini mesti diracut, disirnakan.
Perang di jagad raya ini besarannya adalah perang melawan keangkaramurkaan, kedurjanaan. Namun di dalam hal yang lebih mikro, perang melawan nafsu, melawan sifat-sifat buruk manusia sendiri. Justru di sinilah perang sesungguhnya. Kalau perang melawan keburukan dunia itu gampang dimanifestasikan dalam gerakan moral, gerakan budaya, dan gerakan-gerakan yang lain. Tetapi perang melawan keburukan dan sifat diri yang jelek sulit untuk dimanifestasikan kecuali dengan diam, bertapa, berpuasa, bermatiraga.
Dua ksatria itu memang tidak mengenal udanegara, bukannya mereka tidak tahu, tetapi memang mempunyai tekad dan semangat yang ‘sundul langit’. Walau mereka lugu, tetapi dalam kehidupan perlu keluwesan, perlu strategi, dan perlu penguasaan pancaindera. Pandawa harus menang dengan kekuatan sendiri, tanpa dibantu oleh kekuatan yang luar biasa yang datang dari kekuatan lain. Kemenangan yang dihasilkan dengan kekuatan besar alias kekuasaan itu kemenangan yang wajar, kemenangan yang dipaksakan, bukan lantaran usaha sendiri dengan semangat dan perjuangan sendiri.
Sifat Antasena yang kadangkala terasa kebablasen, demikian pula Wisanggeni yang selalu dalam lindungan SangHyang Wenang harus dihentikan, diracut.
Orang Jawa Bilang ”Yen harsa sumurub urubing tirta, kendalenana taline mega”.
‘Urubing tirta’ merupakan manifestasi rasa, dituntut menahan dan mengendalikan nafsu. Manusia jadi ‘nglegena’ bukan tanpa keinginan, tetapi manusia harus pasrah-narima dan selalu mengalah-mengejar jalan Allah.
sumber : http://caritawayang.blogspot.co.id/2013/03/wisanggeni-racut.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar