Hanif Fathin Ma'ruf

Minggu, 28 Agustus 2016

Rama Tambak

Rama Tambak



Rama Wijaya termangu sedih ketika mendapati kenyataan tak seindah impian. Bayangan Sinta, istri yang sangat dicintainya perlahan memudar dari benaknya, terpagut hempasan ombak samudra yang terbentang di hadapannya. Prabu Sugriwa, Lesmana, Anoman, Anila, Anggada, dan seluruh pasukan kera yang ada pun tak mampu berbuat banyak untuk membuat Sri Rama tersenyum.

Gejolak kerinduan junjungannya kepada sang istri bagai sembilu yang menyayat hati. Sebagai senopati perang, ingin sekali rasanya Anoman beraksi dan membawa terbang Rama menyeberangi samudra. Tapi Anoman sadar, jika perang dengan wadya bala Alengka harus dilakoni dengan cara yang ksatria. Akan tetapi, samudra Hindia yang membentang di depan mata dihuni ribuan pasukan raksasa air yang nggegirisi. Sungguh sebuah perbuatan konyol dan bunuh diri jika membiarkan pasukan kera yang tak bisa berenang menceburkan diri ke dalam samudra. Namun alam berkehendak lain. Di tengah keputusasaan Sri Rama, muncullah Hyang Baruna dewanya para ikan dan hewan laut. Baruna paham masalah apa yang dihadapi Rama.



Dengan segenap keberanian yang dimilikinya, Baruna pun mengingatkan Rama Wijaya untuk tak lagi putus asa dan ragu-ragu dalam bertindak. Karena sebagai seorang pemimpin, keraguan dan keputusasaan adalah jurang kematian yang siap merenggut nyawa rakyat yang dipimpinnya. Sadar telah salah dalam berpikir, Rama pun kembali bangkit. Dan dengan bantuan Baruna, Sri Rama pun bahu membahu bersama para pasukan kera melakukan sebuah mega proyek yaitu membuat bendungan (jawa = tambak) untuk membentung lautan sebagai jembatan untuk  menyebrang ke Alengka.
Sementara itu, mata-mata Alengka, Kala Marica melaporkan kepada Prabu Rahwana tentang rencana pembangunan bendungan tersebut. Prabu Dasamuka merasa cemas dengan rencana Prabu Rama tersebut. Mendengar itu, Prabu Dasamuka memerintahkan Detya Kala Yuyu Rumpung untuk membawa seluruh pasukan raksasa kepiting yang ada di Samodera Hindia, untuk menghancurkan jembatan buatan pasukan wanara Pancawati.

Yuyu Rumpung berwujud raksasa berkepala ketam (jawa =yuyu). Ia adalah salah satu punggawa kerajaan Alengka yang oleh Prabu Dasamuka ditempatkan di dalam samodra. Yuyurumpung sangat sakti. Ia dapat hidup di dalam air dan darat.

Detya Kala Yuyu Rumpung siap melaksanakan perintah Prabu Dasamuka. Ia akan mengerahkan seluruh yuyu rumpung di Samodera Hindia, untuk menggagalkan pembangunan jembatan Prabu Rama. Berangkatlah Detya Kala Yuyu Rumpung ke Samodera Hindia. Tentu saja Detya Kala Marica ikut pergi ke Samodera Hindia, mengawasi jalannya eksekusi pasukan Prabu Dasamuka pada jembatan Prabu Rama.

Sementara itu di Pancawati, Prabu Rama sedang berembug dengan Narpati Sugriwa, Laksmana, Anoman, Anggada, Anila dan para punggawa yang lain. Prabu Rama merencanakan pembuatan tanggul di Samudera Hindia, dari Pancawati  sampai tanah Alengka, untuk membawa pasukan Pancawati sebanyak-banyaknya.

Akhirnya mereka mulai membendung samudera Hindia. Para pasukan kera Pancawati bahu-membahu membuat bendungan dengan batu dan batang pohon dari hutan di sekitar Pancawati. Namun belum sampai ke Alengka tanggul itu selalu jebol dan hancur. Pasukan Prabu Rama menjadi putus asa. Belum tahu langkah apa yang harus dilakukan,

Tidak lama kemudian Prabu Rama kedatangan tamu dari Alengka, yaitu Wibisana. Prabu Rama merasa senang dengan kehadiran Wibisaba, yang mau bergabung dengan Prabu Rama. Prabu Rama bersedia memberikan fasilitas Kerajaan Pancawati.Wibisana sehari harian diperbolehkan menggunakan apa yang ada di Pancawati. Wibisaana mendapatkan tenda tersendiri, yang letaknya bersebelahan dengan tenda Prabu Rama dan Laksmana.

Sebagai tanda baktinya kepada Prabu Rama, Wibisana membantu pembuatan jembatan dari Pantai Pancawati sampai ke negeri Alengka. Dalam waktu sekejab Wibisana menciptakan jembatan yang kokoh dan kuat. Anoman kemudian mencoba jembatan yang baru diciptakan Wibisana.

Belum beberapa lama jembatan itu dicoba oleh Anoman, jembatan itu ambrol dan hancur. Jembatan ciptaan Wibisana menjadi runtuh.  Disaat seperti ini Wibisana bagai teruji kesetiaannya pada Prabu Rama. Beberapa tokoh senapati meminta agar Wibisana diusir saja dari Pancawati, karena bisa saja niat Wibisana mau menghancurkan Pancawati dari dalam. Wibisana tak bisa berbuat apa apa. Pikirannya melayang kembali kekakaknya, Prabu Dasamuka, Wibisana berpikiran lebih baik tinggal di Alengka, dari pada setelah meninggalkan tanah kelahirannya, ternyata sesampai di tempat Prabu Rama yang asing baginya, dianggap mata-mata musuh. Dalam hatinya menangis, teringat pula kakaknya, Kumbakarna yang sempat mau mengikuti kepergiannya. Wibisana terdesak pikiran-pikiran yang mestinya tidak perlu. Akan tetapi Prabu Rama menyatakan bahwa ia tetap percaya pada Wibisana.

Prabu Rama percaya pada Wibisana, karena Wibisaba pasti mengetahui seluk beluk pertahanan Alengkadiraja.

Persoalan selalu runtuhnya bendungan tersebut oleh Prabu Rama diserahkan pada Wibisana. Menurut perkiraan  Wibisana, keruntuhan-keruntuhan yang terjadi pada jembatan tersebut, akibat ulah pasukan Prabu Dasamuka. Wibisana meminta Prabu Rama untuk mengerahkan seluruh kera kera Yuyu Kingkin, yang berada di hutan Pancawati,  ke Jembatan Situbanda yang telah dibuat  Perajurit Pancawati.  Kapi Yuyu Kingkin siap akan mengerahkan ribuan kera yuyu kingkin di hutan Pancawati mengusir pengganggu dari Alengka. Kapi Yuyu Kingkin adalah satu satu satu nya jenis kera, yang mempunya capit yuyu yang kuat, sanggup menyelam berjam-jam di dalam Samodera.

Dalam melakukan operasi tesebut, ditugaskan pula Kapi Sarpacitra untuk membatu. Kapi sarpacitra adalah kera pujaan Batara Cakra, seorang dewa yang juga berkedudukan sebagai pujangga kayangan. Ia berwujud kera berkepala ular dan memiliki ekor yang sangat panjang.


Pasukan Pancawati pun bertindak. Kapi Yuyu Kingkin beserta pasukan dan Kapi Sarpacitra menyelam ke dasar lautan. Benar saja sesuai perkiraan Wibisana, tambak yang dibangun ternyata dirusak oleh pasukan Alengka yang dipimpin Kala Yuyu Rumpung. Pasukan Kapi Yuyu Kingkin berhasil mengalahkan bala Alengka, Pasukan Yuyu Rumpung sebagian tewas dan yang masih hidup menyelamatkan diri.

Sementara itu sang komandan, Kapi Yuyu Kingkin dan Kapi Sarpacitra berhadapan dengan Kala Yuyu Rumpung. Karena kuwalahan menghadapi Kala Yuyu Rumpung di dalam air, Kapa Sarpacitra melilit tubuh Yuyu Rumpung dengan ekornya yang panjang dan dibawa ke daratan. Kapi Yuyu Kingkin pun ikut kembali ke daratan. Pertempuran pun kembali berlanjut. Ternyata di darat Yuyu Rumpung tak sehebat jika bertarung di dalam air dan akhirnya tewas di tangan Kapi Yuyu Kingkin.

Sesudah tidak ada lagi gangguan dari pasukan Alengka,  Pasukan Pancawati dan Wibisana, melanjutkan pembuatan jembatan Situbanda, dengan bahu membahu dalam membuat jembatan ke Alengka, maka jadilah tanggul itu dan akhirnya pasukan  kera yang jumlahnya ribuan itu bisa diberangkatkan ke Alengka Diraja. Mereka termasuk para kera ciptaan Dewa, seperti Cucak Rawun, Endrajanu, Bakliwinata, Baliwisata, Indrajanu, serta lainnya berbaris rapi, bagaikan tentara yang perkasa, siap ke medan laga, menjemput maut, demi membela kebenaran. Jembatan ini dikenal dengan Jembatan Situbondo. Dan konon jembatan yang menghubungkan India dengan Srilangka, masih ada, yang menyerupai pulau pulau kecil di ujung Srilangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar