Hanif Fathin Ma'ruf

Rabu, 24 Agustus 2016

Petruk Nagih Janji

Petruk Nagih Janji


Di bawah langit, di atas bumi, di tepi samudra raya, tak ada Negara seperti Negara Amarta. Negara ini mulia dan terkenal di segala penjuru dunia. Negara yang gemah ripah loh jinawi, makmur tiada tara. Buminya subur luar biasa. Apa saja yang ditanam di tanahnya berbuah berlimpah-limpah. Ke sana datang tiada henti orang yang mencari nafkah. Jarak jauh tak mereka hiraukan karena di sana murah sandang murah pangan.
Adalah sebuah desa di negara Amarta, Karang Klethak namanya. Lain dengan kata orang tentang Amarta, Karang Klethak adalah sebuah desa, di mana kemakmuran tak pernah datang melanda.Turun- temurun, desa ini selalu miskin. Buminya kering, tanahnya tandus. Penduduk bermandi keringat mengolah tanah. Kendati demikian, panenan tidak membawa banyak buah. Mereka tidak mengalami bagaimana rasanya sandang murah pangan murah. Yang mereka rasakan hanyalah susah.
Di desa Karang Klethak hiduplah seorang bernama Petruk. Ada yang bilang, Petruk ini anak dewa yang mulia. Ada pula cerita, ia adalah gendruwo yang sakti. Itu hanyalah kata orang. Petruk sendiri mengalami dan merasa, dia hanyalah orang yang biasa, penduduk desa yang tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Seperti penduduk desa lainnya, ia harus berlelah-lelah, berjerih payah mencari nafkah. Kendati demikian hasil keringatnya hanyalah sia-sia. Sehari-hari ia hanya mengalami susah.
Suatu hari Petruk memutuskan, ia harus pergi ke istana, menghadap raja Amarta. Ia tak peduli, apakah ia berangkat atas namanya sendiri, atau mewakili penduduk Karang Klethak. Ia ingin memohon kepada raja, agar raja dan pemerintahannya mau memperbaiki nasibnya. Apalagi kebetulan ia mendengar, raja sedang mengumpulkan kerabat dan anggota pemerintahannya untuk berembug, bagaimana rakyat bisa dientaskan dari kemiskinan dan penderitaannya. Mereka tahu, sesungguhnya penderitaan dan kemiskinan bukan hanya menimpa desa Karang Klethak, tapi juga banyak desa lainnya yang tersebar di seluruh kerajaan Amarta.
Raja sedang bersidang dengan bawahannya, ketika Petruk tiba di sana. Syukurlah, Petruk diperkenankan masuk. Setelah melakukan sembah, Petruk pun ditanya oleh sang raja.
“Siapakah kamu yang tergopoh-gopoh menghadap aku?”
“Masakan Paduka lupa?” Telah sekian lama hamba mengabdi Paduka. Bahkan sebelum Paduka ada, hamba sudah mengabdi leluhur Paduka, turun-temurun. Hamba adalah Petruk”.
“O, kamu Petruk.”
“Benar, Paduka”.
Petruk tidak heran, apabila sang raja lupa. Dia adalah rakyat biasa. Di mata raja, rakyat hanyalah kerumunan orang yang tak bernama. Bagi raja dan penguasa, rakyat adalah mereka yang semuanya sama. Pantas bila raja tak mengenal pribadinya, apalagi namanya. Kalau kali ini, dan bahkan kali ini saja, raja berkenan menyapa namanya, ia merasa sudah lega.
“Petruk, apa maksud kedatanganmu?” tanya sang raja.
“Kiranya sudahlah sampai kabar ke hadapan Paduka, bahwa miskinlah keadaan hamba. Tidak hanya hamba, tapi semua penduduk di desa hamba. Kami telah berusaha,namun hasilnya selalu sia-sia. Tetaplah nasib hamba, malang senantiasa. Berkali-kali hamba mendengar, Paduka dan pemerintahan Paduka hendak menolong orang-orang seperti hamba. Namun sampai sekarang, belum juga pertolongan Paduka tiba. Mestikah hamba menanti lebih lama?” kata Petruk.
“Petruk, tidakkah kaulihat, siapa saja yang sekarang ada di sekitarmu? Mereka semua adalah kerabat dan pembantu-pembantuku. Bersama aku, sekarang mereka semua sedang berembug, bagaimana kami dapat membantu semua rakyat, termasuk kamu. Kami berusaha untuk memakmurkanmu, menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagimu. Tak henti-hentinya kami mencari jalan untuk menolongmu,” tutur sang raja.
“Trima kasih, Paduka. Namun maafkanlah hamba, sudah keraplah hamba mendengar kata-kata seperti yang Paduka ucapkan. Kendati demikian, sampai sekarang kata-kata itu tidak pernah menjadi kenyataan,” sanggah Petruk halus.
“Petruk, tidaklah mudah menemukan jalan untuk memperbaiki nasibmu.”
“Tapi Paduka, tidakkah negara kita adalah negara yang gemah ripah loh jinawi kerta raharja?” Mengapa hanya Paduka yang makmur dan sejahtera, dan bukan kami yang rakyat ini?”
“Petruk, bersabarlah. Aku dan pembantu-pembantuku takkan kenal lelah untuk membuat rakyatku sejahtera. Hanya saja saatnya belum tiba. Bersabarlah, saat itu akan tiba, dan kamu semua akan makmur sejahtera, lepas dari segala derita dan susah.”
“Sampai kapan hamba harus bersabar, Paduka?” tanya Petruk.
“Tak lama lagi, Petruk. Bersabarlah, sementara kami akan terus mencari jalan untuk mengentaskanmu dari kemiskinan dan penderitaan. Asal kamu bersabar, pasti kami akan segera menemukan jalan,” jawab sang raja.
“Apa itu semua berarti hamba harus menanti lagi?”
“Ya, Petruk, kamu masih harus sabar menanti.”
“Baik, Paduka. Hamba percaya akan kata-kata Paduka. Hamba akan menanti, sampai janji Paduka tadi benar-benar dipenuhi. Namun hendaknya Paduka ingat, hamba akan terus menagih janji jika belum juga janji itu terjadi. Hamba akan terus menunggu tiubanya kepenuhan janji itu, bahkan sampai berakhirnya jagat ini,” kata Petruk.
Petruk mohon pamit. Ia mengundurkan diri dari persidangan agung. Ia kembali ke dalam dunianya yang nyata, dunia penantiannya. Di perjalanan pulang ke Karang Klethak , desanya, Petruk terheran-heran sendiri dengan kata-katanya, mengapa untuk sejahtera saja, ia harus berani menantisampai kapanpun, bahkan sampai berakhirnya jagat ini? Mungkinkah ia mampu untuk menunggu sampai sedemikian lama? Apakah ia sendiri masih ada sampai berakhirnya jagat raya ini? Kalau ia tidak ada lagi, dan jagat raya ini masih terus ada, tidakkah yang tinggal hanyalah penantiannya saja? Apakah ia sesungguhnya adalah penantian itu sendiri?
Petruk adalah penantian. Karena itu ia tak dapat mati. Jagat raya berjalan dari zaman ke zaman, dari kerajaan ke kerajaan, dari penguasa ke penguasa, dan Petruk selalu ada di sana, karena janji baginya belum dipenuhi. Sejarah berjalan, zaman berubah, kerajaan dan pemerintahan silih berganti, penguasa terus bersalin rupa, tapi Petruk tetaplah Petruk yang senantiasa menanti dan menjadi penantian sendiri.
Petruk tidak mati-mati, malah ia makin hidup karena janji baginya belum juga terpenuhi. Matahari melemah panasnya, bulan memudar kecantikannya, bintang-bintang memucat cahayanya, samudera menyusut gelombangnya, tapi Petruk terus ada seperti semula karena tak mungkin dipadamkan penantiannya. Malah Petruk makin ada, makin panas, makin bercahaya, makin bergairah, karena makin menyala penantiannya.
Maka sampailah Petruk pada suatu zaman dan pemerintahan. Ia heran, karena ia melihat orang yang sama persis seperti dirinya. Orang itu berhidung panjang, rambutnya bertkuncir, perutnya buncit, persis seperti Petruk. Dan ia membawa pethel, senjatanya sejak zaman purbakala dulu. Namun Petruk itu kelihatan demikian bergaya dan pongah.
Ia tidak bersarung, tapi memaki celana yang berslerat-slerit hitam, biru, kuning dan merah warnanya. Petruk adalah penantian. Dan penantian adalah bagian dari ketuaan. Karena itu Petruk juga merasa ketinggalan zaman. Tapi penantian juga adalah bagian dari kemudaan. Karena itu Petruk juga selalu didorong untuk mengetahui sesuatu yang baru. Maka tanpa ragu-ragu, bertanyalah ia pada seseorang tentang hal yang tidak dimengertinya itu.
“Pak, celana apa gerangan yang dikenakan oleh orang yang seperti aku itu?” tanya Petruk.
“Itu celana zaman sekarang. Modelnya tak jelas, yang penting ngejreng. Tidakkah kamu lihat ada yang wagu pada orang itu?” kata orang tersebut.
“Apanya yang wagu?”
“Dia memakai pethel seperti pethel-mu. Tapi ia bergaya, seakan pethel itu pistol. Ia bertingkah laku seperti cowboy. Kamu tahu cowboy kan?” tanya orang itu.
“Apa itu?” tanya Petruk.
“Cowboy itu orang negeri sebrang, orang Amerika, yang suka nembak!”
“O ala…,” Petruk ternganga.
Petruk memperhatikan orang itu lebih lama. Betul-betul wagu, katanya mau berlagak cowboy, kok tangannya juga dikalungi selendang warna merah seperti sampur. Dia itu mau menembak atau mau tayuban? Apalagi, ia methangkring di atas kursi, seakan ia adalah orang yang paling berkuasa sendiri.
Dasar orang yang gila kuasa, pantas lagaknya kaya orang gila, kata Petruk dalam hati. Dan lihatlah, kuncirnya terlempar ke muka, terkena angin, mengikuti layang-layang putus, yang entah mau terbang ke mana. Itulah ambisinya, terbang setinggi langit, tapi terputus dari pegangan, seperti layang-layang pedhot.
“Itu bukan saya. Itu orang yang gila kuasa,” kata Petruk.
Petruk terus berjalan. Ia melihat lagi orang yang persis seperti dia. Namun orang itu berdandan amat rapi, dandanan Jawa. Petruk tidak asing, karena orang ini memakai busana yang semuanya ia kenal. Kuluknya biru, memakai jas beskap, berkain lorek biru. Tangannya yang satu memegang cerutu.
“Tapi mengapa ia salah menjinjing pethel-ku? Aku selalu menyelempitkan pethel di pinggang, tapi ia memegang pethel seperti tongkat kekuasaan,” Petruk berkata kepada dirinya sendiri.
Petruk kemudian tahu, sekarang banyak orang yang mengatasnamakan dirinya untuk menjadi penguasa. Apa alasannya? Karena Petruk adalah rakyat. Untuk berkuasa, orang harus mengatasnamakan rakyat. Tentang hal itu Petruk maklum. Sejak zaman dahulu kala, ia memang dianggap rakyat. Karena itu sejauh ada rakyat, pasti ada Petruk. Maka kalau orang mau mengatasnamakan rakyat, ia juga harus metruk, menjadi petruk dan berlagak seperti Petruk.
“Biarlah orang itu metruk. Tapi ia hanya akan menjadi bahan tertawaan, justru karena pethel-ku itu. Memegang pethel sebagai tongkat kuasa, itu bukan kebiasaanku. Pethel-ku itu bukan untuk berkuasa, tapi untuk bekerja. Dia akan kualat karena pethel itu. Nanti pethel yang dipakainya sebagai tongkat itu akan nuthuk endase dhewe. Arep metruk malah kethuthuk,” Petruk tertawa.
Di tengah jalan, Petruk bertemu lagi dengan makhluk yang mirip-mirip dia. Tinggi dan jangkungnya seperti dia. Dan makhluk itu berdandan seperti ksatria yang mau maju perang. Memakai sepatu lars, Pakaiannya sepewrti ketopong baja. Ikat pinggangnya lebar seperti obi, yang biasa dipakai oleh para samurai. Dan ia menyandang pedang panjang.
“Ia seperti aku tapi mengapa kupingnya panjang, dan moncongnya menjulur seperti asu?” Petruk membatin.
“Ia kelihatan bengis. Apalagi dengan pedangnya yang panjang, yang siap untuk memotong orangPetruk kok bengis? Mana mungkin, aku kan orang yang senang tertawa? Dulunya mungkin ia berhidung panjang seperti aku. Mungkin karena kebengisannya, lidahnya jadi terus melet-melet, sampai membuat hidungnya berjulur-julur, sehingga hidung yang panjang itumenjadi moncong asu. Mungkin, tapi itu hanya perkiraanku,” pikir Petruk terus.
Tak henti-hentinya Petruk memandang orang itu. Orang itu gagal berdandan seperti dia, hanya tinggi dan jangkungnya saja yang boleh menjadi tanda bahwa ia adalah Petruk. Dan orang itu seakan membukakan siapa Petruk-petruk yang ia lihat sebelumnya.
“Mereka bukan Petruk, mereka adalah asu,” teriak Petruk jengkel.
Pikir Petruk, “Aku hidup sampai zaman ini untuk menanti dan menagih janji. Tapi mungkinkah aku menagih janji pada penguasa yang seperti cowboy, atau yang seperti ratu ketoprak yang kenes dan pesolek, atau pada ratu yang seperti asu?”
Memamng tidak mungkin. Bisa-bisa ia malah dipistol, dithuthug dengan pethel, atau dipedang dengan bengis. Maka Petruk mesti menanti lagi. Ia bisa, karena ia sudah terlatih untuk sabar menanti. Petruk meneruskan perjalanannya, dan tibalah ia di lapangan terbuka. Riuh rendah dan gaduh luar biasa di sana.
“Ada apa ini?” tanya Petruk.
“Ini kan kampanye,” jawab yang ditanya.
“O ala…,” kata Petruk.
Petruk melihat ke podium. Di sana ada seorang makhluk berpidato dengan berapi-api. Bendera dikibarkan. Dan dari mulut makhluk itu meluncur seribu janji. Katanya, kalau partainya menang, dan ia berkuasa, beras akan murah,minyak akan turun harganya, anak-anak bisa sekolah tanpa biaya, ke dokter dan ke rumah sakit, orang juga tidak perlu mengeluarkan uangnya. Semuanya akan ditanggung pemerintah.
“Mungkin inilah saatnya janji yang saya nanti akan dipenuhi,” pikir Petruk kegirangan.
Namun mata Petruk terbelalak, ketika melihat, siapa orang yang berpidato itu. Orang itu ternyata berbadan binatang, dan dari pantat binatang itu mencuat dua kepala serupa kepala asu. Petruk menjadi lebih terkesiap dan terkinjat ketika memandang sekeliling. Ia melihat, betapa lapangan itu dipenuhi asu-asu. Lidah mereka berjulur-julur. Dan tiap kali makhluk yang berpidato itu memuntahkan janji yang muluk-muluk, lidah asu-asu itu makin menganjur berjulur-julur. Menyambut janji yang tinggi itu, mereka bertepuk tangan bukan dengan tangannya tapi dengan lidahnya.
“Dasar asu,” kata Petruk menyerapah.
Tapi sungguhkah mereka asu? Tidak, mereka hanya ketularan menjadi asu, karena mereka percaya pada janji-janji palsu. Dan dari manakah berasal janji-janji itu, kalau bukan dari makhluk di podium yang badannya ternyata adalah asu? Mereka sesungguhnya adalah rakyat, tapi mereka terkena laknat, karena pemimpin mereka yang keparat. Mereka tak dapat lagi berpikir, otak mereka tumpul, mereka hanya bisa mengiyakan janji-janji yang palsu, yang diucapkan pemimpin mereka yang sukanya hanya menipu, sehingga alam mereka ikut berubah, ditarik ke dalam alam asu.
Petruk menyerapahkan semua itu. Dan alangkah terperangahnya dia, ketika ia meraba hidungnya. Ternyata hidungnya sudah tiada. Hidungnya menyatu dengan mulutnya dan menjulur menjadi moncong asu.
“Ya ampun, aku sendiri juga telah berubah menjadi asu,” kata Petruk. Inilah bagian dari resiko perjalanannya yang sedang menanti janji. Suatu saat nanti, ia akan menjelma seperti semula. Ia pun akan mengais-ais rejeki seperti asu. Ya ampun, betapa susahnya bila hidup sedang terhukum menjadi asu. Ke mana-mana ia mesti berebut rezeki. Ke mana-mana ia diusir dan dipenthungi. Badannya sering gatal-gatal, karena digerogoti kudis. Mula-mula ia suka mencret, karena suka mengorek-orek dan menggeragau sisa-sisa makanan di tempat-tempat sampah.
Lama-lama ia kuat dan terbiasa, kendati tiap hari hanya melahap makanan yang terbuang di tong sampah. Itu semua karena ia masih sedang menanti dan menagih janji. Yang menghidupinya bukan makanan kotor dari buangan sampah tapi hatinya yang rindu akan apa yang pasti, bahwa suatu saat janji baginya akan dipenuhi.
Hari itu panas luar biasa. Dan ia sedang berkeliaran mencari nafkah. Tiba-tiba ia merasa ada angin besar datang mengembusinya. Ia merasa, angin itu berasal dari alam, seperti dulu sebelum ia terkutuk menjadi asu. Akhirnya, datang gara-gara yang akan mengubaj nasibku dan nasib dunia. Ia merasakan, betapa silirnya angin itu, apalagi di tengah cuaca dan keadaan yang begini panas.
Ia menghadap ke arah angin itu. Ia merasa, angin itu ada sumbernya. Inikah saatnya aku menemukan susuhing angin, sarang angin? Kalau ya, berarti aku telah menemukan kedamaianku. Tidakkah selama ini aku dipesan untuk menemukan susuhing angin, bila aku ingin damai dan bahagia? Tak kukira, sekarang inilah saatnya aku dipertemukan dengan sumber kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman yang selama ini aku cari-cari. Ternyata ia salah duga. Angin itu ternyata hanya berasal dari kitiran gedheg, alias kipas angin.
“Asu tenan, susuhing angin itu ternyata hanya kipas angin. Saya mau mencari ketentraman batin, ternyata saya hanya disuruh makan angin. Kebangetan betul, mereka yang tega menipu aku. Mereka betul-betul asu!” katanya menyumpah-nyumpah.
Anehnya, dengan menyumpah-nyumpahkan asu terhadap mereka yang telah menipu, itu semuanya malah menyembuhkannya dari kutukan asu. Ia kembali menjelma menjadi Petruk. Diraba-rabanya hidungnya, hidung Petruk, bukan moncong asu. Petruk kembali menjadi Petruk, karena ia tidak mau lagi tertipu oleh janji-janji yang palsu.
Matahari sedang sangat teriknya. Tapi Petruk tak mau berteduh. Ia bahkan tak mau lagi mengharapkan lagi angin yang silir semilir. Ia menahan nafas, karena hatinya tak mau tertipu lagi, jangan-jangan nanti ia hanya disuruh makan angin. Di tengah sengat matahari itu, di kejauhan tiba-tiba terdengar suara gemrudug, dan tak lama kemudian datanglah seekor binatang yang menyeruduk-ruduk.
“Itu bukan banteng ketaton. Sekarang sudah tiada lagi banteng ketaton, yang mengamuk dan menunjukkan kegagahannya. Kini yang ada hanyalah banteng yang kalah, karena ia sendiri yang salah. Salahnya sendiri, mengapa ia tidak mau menunjukkan dirinya yang gagah. Ia adalah banteng yang salah arah, karena itu pantaslah jika ia kalah,” kata Petruk.
Petruk tak mau tertipu lagi. Dulu ia percaya akan kekuatan banteng, apalagi kalau lagi ketaton. Sekarang ia melihat banteng itu begitu lemah. Badannya terkulai, kepalanya melempai, dan kakinya terjulai. Banteng itu terjerembab, karena di punggungnya panah-panah tertancap. Ia benar-benar kandas. Kalau toh masih ada kegagahannya yang tersisa, itu hanyalah warnanya yang masih merah. Selebihnya, banteng itu hanya terisak menangis, seperti perempuan yang cengeng.

sumber : http://petruknagihjanji.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar