Hanif Fathin Ma'ruf

Jumat, 30 Desember 2016

Ramayana : Wibisana Tundung

Ramayana : Wibisana Tundung

Prabu Dasamuka menjadi semakin jauh dari kebenaran. Ia sudah tidak bisa diingatkan atau dinasehati lagi. Sudah berkali kali Kumbakarna dan Wibisana selalu mengingatkan, agar Dewi Sinta dikembalikan ke Ayodya. Namun Prabu Dasamuka hanya bisa marah marah saja.                             

Wibisana menjadi penasaran terhadap Dewi Sinta, yang sewaktu dilahirkan dinegeri Alengka, dari istri Prabu Dasamuka, Dewi Tari,  sudah disingkirkan ke sungai Gangga, kemudian menjadi anak Prabu Mantili, kemudian, sudah menjadi istri Prabu Rama di Ayodya, mengapa bisa  dibawa kembali ke negeri Alengka.


Wibisana percaya, bahwa ini semua sudah menjadi kehendak Dewata,bahwa peristiwa yang akan menimpa Dewi Sinta pasti akan terjadi,walaupun sudah diupayakan berbagai cara untuk menjauhkan Dewi Sinta dari Prabu Dasamuka, Ternyata jalan hidup Dewi Sinta memang harus begini,yaitu masih harus berurusan dengan Prabu Dasamuka. Sedangkan Wibisana semakin sulit untuk mengatasi keadaan.



Andaikata dulu, bayi anak Prabu Dasamuka dengan Dewi Tari tidak dibuang, maka bayi itu akan menjadi Anak Prabu Dasamuka. Andaikata juga, kalau Prabu Dasamuka mau mengawini anaknya sendiri yang katanya titisan Widowati, mungkin Wibisana lebih mudah mengatasinya. Wibisana hanya bisa pasrah kepada Dewata.

Pada suatu hari di pasewakan Agung Kerajaan Alengka Diraja, Prabu Dasamuka yang menghadirkan Patih Prahasta. Yaitu pamannya sendiri, adik dari ibunya, Dewi Sukesi,dan juga para adik-adiknya, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Wibisana, juga para Putera Prabu Dasamuka, mmbicarakan rencana perkawinan Prabu Dasamuka dengan Dewi Sinta, Rencana Prabu Dasamuka tersebut ditentang oleh Wibisana. Wibisana tidak setuju sama sekali, kalau Prabu Dasamuka akan mengawini Dewi Sinta. Kalau Prabu Dasamuka masih nekat untuk mengawini Dewi Sinta, dewata akan mengutuknya*). Prabu Dasamuka mendengar peringatan dari Wibisana, adiknya, menjadi marah marah.

Tanpa basa basi, diusirnya Wibisana dan tidak boleh kembali kenegeri Alengka, biar saja jadi orang hutan. Akhirnya Wibisana keluar dari istana.
Kumbakarna melihat Wibisana diperlakukan sewenang-wenang oleh Prabu Dasamuka. ia tidak terima. Prabu Dasamuka semakin menjadi marah. Kumbakarnapun diusir seperti halnya Wibisana.
Akhirnya Kumbakarna pun pergi dari istana Alengka. Sesampai diluar Istana, Kumbakarna masih dapat bertemu dengan Wibisana, dan Kumbakarna ingin mengikuti kepergian Wibisana. Wibisana melarang kakaknya mengikutinya, lebih baik kakaknya pulang ke Alengka, untuk menjaga Prabu Dasamuka, agar tidak semakin semena mena terhadap orang lain. Wibisana pun pergi.

Kumbakarna menjadi kecewa. Ia tidak mau pulang ke Istana Alengka, ia lebih memilih tinggal di Gunung Gohkarna, tempat bertapa dahulu beserta kakaknya Prabu Dasamuka  dan adik-adiknya sewaktu masih kecil dahulu. Disana bertapa  tidur untuk selama-lamanya. Sepeninggal kedua adiknya, Wibisana dan Kumbakarna dari Istana.  Istana.  Alengka kelihatan sunyi, Namun Prabu Dasamuka tidak terpanggil jiwanya, unntuk kembali kejalan yang benar, tetapi semakin menjadi-jadi. Namun demikian kepergian kedua adiknya, menjadikan Prabu Dasamuka ragu untuk melaksanakan perkawinannya dengan Dewi Sinta. Ia memilih bersabar hati daripada memaksanya, dan juga masih mencari jalan lain agar Dewi Sinta bisa melupakan Prabu Rama.

------------------------------------------------------------------
*) Dewi Sinta adalah titisan Dewi Widawati, jadi ketika Dewi Widawati akan diperistri oleh Rahwana, tapi Dewi Widawati tidak mau, maka lari dan turun ke bumi dan menitis kepada Bayi Sinta yang sebenarnya adalah anak dari Rahwana sendiri.

Proses penitisan ini dilihat oleh Raden Wibisana, maka cepat cepat bayi tersebut ditukar karena Wibisana tahu bahwa pasti akan menimbulkan masalah dikemudian hari.

Dewi Widati menitis menjadi anak Prabu Dasamuka dengan tujuan supaya tidak diperistri oleh Prabu Dasamuka, tapi Dewi Widawati tidak tahu sedalam apa cinta Prabu Dasamuka terhadap dirinya. Walaupun anaknyapun kalau Prabu Dasamuka menginginkan pasti diambil istri juga karena memang sudah menjadi watak dari Prabu Dasamuka.

Wibisana melihat ini kemudian menukar Bayi Sinta dengan Bayi yang lain yang disabda oleh Wibisana dari awan / mega menjadi seorang bayi dan diberi nama Raden Indrajit.

Setelah itu bayi Sinta di sabda dan dimasukkan ke dalam ketupat kemudian dihanyutkan di sungan Jamuna, yang kemudian ketupat ini akan di temukan oleh Prabu Janaka dari Negara Mantili, kemudian bayi itu diberi nama Sinta, jadi nama Sinta adalah pemberian dari Prabu Janaka dari Mantili.

sumber : http://caritawayang.blogspot.co.id/2012/11/wibisana-tundung.html

Kamis, 29 Desember 2016

Aswatama Nglandak

Aswatama Nglandak


Hasil gambar untuk aswatama



Perang Baratayudha telah usai, Resiwara Bisma telah moksha ke alam kadewatan sesuai dengan waktu yang diinginkannya, setelah kematian Prabu Suyudana sebagai penutup Perang Baratayudha.
Resiwara Bisma dalam perjalanannya menuju surga bertemu dengan Dewi Amba, kekasih pujaan didunia. Ia kelihatan bahagia. Hal itu tidak akan terjadi kalau ia masih hidup. Karena didunia ia seorang Brahmacari.
Kurawa pun sudah habis, semua sudah gugur di medan perang Kurusetra. Demikian pula Pandawa juga telah kehilangan banyak sanak saudaranya.

Dewi Drupadi, juga mengalami hal yang serupa, ia telah kehilangan ayahnya, Prabu Drupada. Keluarga Wirata, telah kehilangan Prabu Matswapati, Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka dalam Perang  Baratayudha.Terlebih lagi Pandawa disamping telah kehilangan sanak saudaranya, juga kehilangan saudara saudaranya Para Kurawa, Eyangya, Gurunya, sahabat serta kerabatnya. Namun yang menjadikan Keluarga Pandawa mempunyai semangat hidup  mereka masih memiliki Ibu Kunti dan Eyang Abiyasa,

Dengan kemenangan Pandawa, maka Pandawa beserta seluruh keluarga tang tersisa memasuki Istana Astina. Kedatangan Para Pandawa disambut oleh  Dewi Kunti. Dewi Kunti terharu, karena betapa mahalnya untuk sebuah kemerdekaan Indraprasta, terlalu banyak yang menjadi korbannya. Dewi Kunti juga mengucapkan terima kasihnya pada Kresna yang telah mendampingi Para Pandawa selama Perang Baratayudha.Kedatangan Pandawa telah diketahui oleh Uwa Prabu Drestarastra dan Uwa Dewi Gendari. Para Pandawa dijemput oleh Paman Yama Widura yang merangkulnya penuh keharuan. Dalam perang Baratayudha, Paman Yama Widura kehilangan satu orang puteranya, Sang Yuyutsu, yang telah gugur di medan pertempuran Barata Yudha dipihak Pandawa.

Ketika meeka sedang berbincang bincang, datanglah  Sanjaya, anak Paman Yama Widura pertama, yang disuruh Uwa nya Prabu Drestarastra, agar  Pandawa keistana Kasepuhan, karena Prabu Drestarastra telah menunggu kedatangan para Pandawa.

Sementara itu Prabu Sri Batara Kresna merasakan fiirasat yang buruk.Prabu Kresna membisikkan agar para Pandawa berhati hati dan waspada dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada, karena ini mungkin perang belum selesai. Pandawa memakluminya. mereka segera menemui Uwa Prabu Drestarastra.

Prabu Drestarastra sedang duduk serimbit dengan Dewi Gendari. Prabu Drestarastra memeluk satu persatu para Pandawa.Walaupun ia memeluk para Pandawa, namun sebenarnyan hatinya  merindukan anak anak kandungnya sendiri , yaitu  Para Kurawa yang telah tiada. Sekarang giliran Werkudara yang hendak dipeluk Prabu Drestarastra. Werkudara segera  mendekati Uwa nya. Namun Prabu Kresna menarik tangan Werkudara, sambil berbisik, tidak perlu mendekati. Biar saja uwa nya yang datang menjemput. Prabu Drestarastra menangisi kematian putera puteranya para Kurawa, karena tidak satupun yang disisakan hidup, oleh Para Pandawa. Sebenarnya Pandawa bisa saja menyisakan Suyudana untuk hidup. Tetapi semuanya sudah terjadi.  Prabu Drestarastra akhirnya berdiri mendekati Wekudara. Sementara itu Werkudara berdiri dekat sebuah patung raksasa  sebesar Werkudara.Werkudara menghindar ketika uwa nya mengulurkan kedua tangannya untuk memeluknya. Tetapi yang tersentuh adalah Patung raksasa yang menghalangi Werkudara dan patung pun menjadi hancur lebur.dari kedua tangan uwa nya masih mengeluarkan api yang  menyala nyala.

Semua terjadi karena uwa nya telah menyalurkan aji Kumbalageni yang sebenarnya ditujukan untuk membunuh Werkudara. Keadaan menjadi hening tidak satupun orang berkata. Prabu Drestarastra menyesal telah membunuh Werkudara. Ia mohon maaf kepada Dewata karena ia tak mampu menahan nafsu balas dendam pada Pandawa khususnya Werkudara yang telah membunuh Suyudana anaknya yang paling dicintainya. Andaikata ia mampu, Werkudara akan dihidupkannya. Ia menyesal tak bisa menjaga amanat Pandu adiknya, untuk menjaga keselamatan Pandawa.Namun Dewi Gendari berkata lain, ia menyesal melihat kegagalan Prabu Drestarastra untuk membunuh Werkudara.

Dewi Gandari bersupata, bahwa Kresna juga akan mengalami penderitaan Bangsa Kuru, karena Kresna adalah yang membunuh seluruh para Kurawa, walaupun tidak dengan tangannya sendiri Maka bangsa Yadawa, juga akan mengalami hal yang sama, Bangsa Yadawa akan mengalami perpecahan, hingga terjadi pertumpahan darah antar bangsa Yadawa sendiri, yang pada akhirnya bangsa Yadawa tertumpas habis dengan sendirinya.. .

Prabu Kresna terperanjat mendengar supata Dewi Gendari. Keadaan menjadi hening, tidak satu pun orang bersuara. Prabu Drestarastra merasa bahagia ketika mengetahui  Werkudara masih hidup. Werkudara kemudian merangkul Prabu Drestarastra, Prabu Destarastra mengharap diantara yang masih hidup jangan ada pertengkaran lagi, jangan ada pembunuhan lagi. Prabu Batara Kresna mohon maaf kepada Prabu Drestarastra dan Ibu Gendari serta siapa saja yang dendam pada Prabu Kresna dan juga atas nama Pandawa, yang didalam perang Bartayudha juga memakan korban banyak  para putera Pandawa,  termasuk juga kehilangan saudara saudara saudara para Kurawa.  maupun Kurawa. Prabu Drestarastra akhirnya merelakan kepergian seluruh para putreranya, yaitu Para Kurawa.

Para Pandawa kemudian mohon pamit untuk memasuki pakuwon Pandawa. Disanalah para Pandawa beristirahat, Sementara itu Dewi Utari telah melahirkan sorang anak yang tampan. Arjuna memberi nama Parikesit.Setelah kelahiran Parikesit, Prabu Sri Batara Kresna berpesan agar Para Pandawa tidak boleh lengah, tetap waspada, dan jagalah bayi Parikesit dari segala yang mengancam. Prabu Kresna berpesan agar jangan sampai bayi ditegakan tidak dijaga, dan dibawah kaki Parikesit, ditaruh senjata pusaka Pulanggeni yang sudah dilepas dari warangkanya..Setelah banyak berpesan Prabu Sri Batara Kresna berpamitan kembali ke Dwarawati. Karena Dwarawati dalam keadaan darurat.Sampai di tengah  malam Pandawa masih kuat untuk berjaga menunggui bayi Parikesit yang tidur di tempat nya.

Sementara itu Aswatama yang sudah lama menghilang dari medan perang Kurusetra, yang sejak pengangkatan Prabu Salya menjadi senapati, dimana Aswatama memprotes pengangkatan itu, karena sudah jelas kelihatan curangnya Prabu Salya yang menyelamatkan kermatian Arjuna dari Karna,


Kini Aswatama telah muncul kembali.. Kali ini ia telah menghimpun kekuatan baru, yaitu bergabung dengan Resi Krepa dan Kertawarma. Kertamarma adalah  adik Prabu Suyudana yang satu satunya masih hidup.  Para Pandawa dan bahkan Prabu Drestarastra tidak menyangka, ternyata masih ada sisa Kurawa yang masih hidup.

Mereka berencana mau memberontak ke Astina, untuk merebut kembali Astinapura  ketangan Kurawa, Tetapi mereka tak ada keberanian. Pertapaan Sokalima walaupun luasnya sama dengan kerajaan Pancala, namun tidak memiliki perajurit. Mereka memutuskan akan memasuki Istana Astina secara diam diam, pada malam hari dan akan membunuh orang orang Pandawa sebanyak banyaknya.

Sebenarnya Aswatama sudah membuat terowongan di taman Kadilengen, dan sudah tembus ke Goa. Sekarang Aswatama dengan bekal sebuah oncor sebagai penerang jalan,dan ditemani Kertawarma dan Resi Krepa memasuki. Namun ditengah jalan, mereka terkejut karena ada sebagian tanah yang gugur sehingga menutup jalan masuk ke goa. Aswatama terpuruk, terlebih lebih ketika api oncor padam, tidak tahu harus bagaimana. Tiba tiba saja ada cahaya yang menerangi Goa. Ternyata Dewi Wilutama datang menolong.

Dewi Wilutama adalah ibu Aswatama. Dewi Wilutama  menerangi goa dengan sinar dari kedua telapak tangannya.  Pintu  goa yang telah dilalui juga roboh dan menutupi pintu goa. Sehingga walaupun mereka pulang juga tidak bisa keluar. Mereka terjebak didalam goa, pulang tidak bisa, terus juga tidak bisa.

Dewi Wilutama menanyakan,apakah mereka mau mmembatalkan niatnya sehingga mau kembali ke jalan semula, atau mau meneruskan kehendaknya., Aswatama ingin meneruskan perjalanannya ke Astina. Dewi Wilutama tidak mau membantu keinginan dan tidak mau ikut bertanggung jawab atas perbuatan Aswatama yang akan dilakukan. Dewi Wilutama membuka jalan ke pintu depan  Goa. Sehingga apabila mereka berniat mau pulang kembali, bisa lewat  kepintu goa semula. dan akan keluar dengan mudah. Namun

Dewi Wilutama tidak tega pada Aswatama,karena Aswatama sudah tidak bisa dihentikan niatnya. akhirnya Dewi Wilutama memberikan senjata untuk menyingkirkan tanah tanah yang menghalangi perjalananannya. Ibunda Dewi Wilutama tidak ikut bertanggung jawab apa yang hendak dilakukan oleh Aswatama, dan disarankankan anaknya pulang saja kembali ke Sokalima.

Resi Krepa ganti membujuk Aswatama agar pulang saja kembali ke Sokalima. Akhirnya Resi Krepa meninggalkan mereka semua, kembali ke pertapaannya.  Dewi Wilutama  sebelum meninggalkan Aswatama meninggalkan  pusaka cahaya, yang akan menerangi goa, sampai Aswatama keluar dati goa, dan sampai ditaman Kadilengen, maka kembalilah Dewi Wilutama kembali kekahyangan..

Dalam waktu singkat Aswatama beserta Kertawarma telah memasuki Istana Astinapura. Kertawarma tidak mengikuti kepergian Aswatama yang memasuki Istana Astinapura. Kertawarma menunggu diluar istana. Ia bersembunyi di luar Istana.

Aswatama membaca mantera agar orang orang yang ada didalam Istana Astina tertidur.Sementara itu seluruh penghuni Istana telah tertidur semua. Memasuki kamar pertama, terlihat Pancawala dan Drestajumna sedang tidur dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang lebar, ditebasnya calon Raja Astina baru, Pancawala dan Pembunuh ayahnya, Drestajumna sehingga terpelantinglah kedua kepalanya.

Dendam masih membara ia membuka kamar yang kedua, terlihat Srikandi tidur tergeletak tidak berdaya, ia kelihatan lemah gemulai seperti wanita wanita biasa  lainnya, walaupun dalam perang Baratayudha ia kelihatan gagah perkasa bagaikan seorang pria jantan dalam menghadapi musuh musuhnya. Ia akan segera membunuhnya, tetapi dirasanya percuma saja karena tidak merasakan sakitnya kalau dibunuh, Srikandi tidak akan merasakan kematiannya. Dengan cepat penuh dendam Aswatama menjambak rambut Srikandi. Srikandi terbangun, dan terkejut ada Aswatama masuk kamar dan dirinya sudah di pegang oleh Aswatama. Ia berusaha melawan tetapi tidak berdaya. Aswatama menjambak Srikandi dan membentur-benturkan kepala Srikandi ke dinding kamar, hingga tewas.

Dendam masih membara, ia melihat Dewi Sembadra sedang tertidur pulas,langsung dibunuh sebagai pembayar utang Arjuna, demikian pula Niken Larasati dan Sulastri terbunuh.

Dilihatnya pula Dewi Banowati istri Prabu Suyudana, dengan pandangan sinisnya, menganggap Banowati,  adalah  seorang wanita murahan, dengan mudahnya selingkuh drngan Arjuna. Tanpa ampun lagi Banowati dibunuhnya.

Aswatama tidak mengetahui posisi dimana Parikesit tidur karena pengaruh senjata Pulanggeni, dan pasti pula ada didalam lindungan Dewata. Aswatama melihat pula Dewi Drupadi, namun ketika akan membunuhnya terdengar, seperti ada suara tangisan bayi, Aswatama terkejut. Ia mengalihkan niatnya untuk membunuh Drupadi,  dan ia melihat dengan mata batinnya suatu tempat yang penuh kabut.  Aswatama melihat bayi itu. Aswatama memandang benci kepada Parikesit, karena Pancawala sudah terbunuh, maka bayi ini adalah pewaris tahta Astina pura. Segera Aswatama berusaha menikam bayi itu. Tetapi kekuasaan dewa yang menentukan lain. tiba tiba saja keris Pulanggeni yang terletak dibawah kaki jabang Parikesit,tertendang sang bayi, dan keris Pulanggeni terpental dan menembus dada Aswatama,  Aswatama tewas.

Sementara ada keributan dan suara tangisan mereka yang terhindar dari pembunuhan, seperti Dewi Untari dan dewi Drupadi. Menjadikan Werkudara dan Arjuna terbangun dari tidurnya. Mereka langsung keluar dari Keputren. Sementara itu, Kertawarma bersiap memukul Werkudara, andaikata melewati persembunyiannya. Werkudara akhirnya melewati persembunyian Kertawarma. Melihat Werkudara berjalan melewati persembunyiannya, Kertawarma segera memukul Werkudara dengan gadanya dengan keras, namun Wekudara dapat menangkisnya.

Terjadilah perkelahian, antara Werkudara dan Kertamarma.Kepala Kertawarma pecah terkena pukulan Gada Rujakpala, Kertamarma pun tewas Pandawa pagi ini dirundung duka. Semua istri Arjuna yang berada di Istana terbunuh semua, juga Dewi Drupadi kehilangan puteranya Pancawala, Srikandi dan Drestajumna. Arjuna semakin tersayat hatinya, melihat jasad DewI Banowati yang wajahnya dirusak oleh Aswatama..

Seluruh keluarga Pandawa berduka. Prabu Kresna kecewa tidak bisa ikut menjaga ketentraman Istana Astina. Prabu Kresna sendiri masih menghadapi  pergolakan keluarga Yadawa. Prabu Kresna minta agar Puntadewa segera menyiapkan pemerintahan Astina. Untuk itu dibutuhkan pengangkatan seorang raja. Kemudian mereka merencanakan pelantikan seorang raja. Setelah mereka berembug maka ditunjuklah Parikesit menjadi Raja Astina. Mengingat Parikesit masih bayi, maka Puntadewa diminta untuk menjadi wali. Maka diangkatlah Prabu Puntadewa mewakili Parikesit. Dengan gelar Prabu Kalimataya. Uwa Drestarastra merestui pengangkatan Puntadewa menjadi Ratu Wali. Prabu Kalimataya dalam pemerintahannya dibantu oleh Sadewa, Sadewa ditunjuk menjadi patih Kerajaan Astinapura.

sedangkan Nakula menjadi raja di Mandaraka menggantikan uwanya, Prabu Salya. Prabu Salya lebih mencintai kedua anak Dewi Madrim adiknya. Lagi pula seluruh anaknya tewas dalam perang Baratayudha.Sedangkan Saewa menjadi patih di Astinapura, mendampingi Prabu Parikesit.

Cerita Aswatama nglandak,atau Aswatama Nggangsir atau dikenal juga dengan Parikesit LahirN glandak, artinya berperilaku seperti landak, jadi maksudnya Aswaqtama, Kartamarma dan Resi Krepa bermaksud  ke Astinapura, untuk membunuh para Pandawa dan keluarganya,  dengan cara  membuat nggangsir dari bawah tanah menuju Asrinapura .***
sumber : http://wayangparikesitlair.blogspot.co.id/

Semar Gugat

Semar Gugat

Hasil gambar untuk semar wallpaper


Lakon Semar gugat dibawakan oleh dua dalang Kondang Asep Sunandar Sunarya dari Dalang Wayang Golek Sunda bersama Dalang Wayang Kulit Jawa Top Ki Manteb (Oye) Sudarsono.
 

Isi Cerita : Amarta diguncang prahara bencana alam banjir bandang sehingga rakyatnya sangat menderita namun ini juga merupakan kritik bagi pemerintah dimana rakyat menderita sementara para pemimpin berlaku tidak adil terhadap rakyatnya dimana agama sebagai alat adu domba,korupsi merajalela,wakil2 rakyat berfoya-foya’

Untuk itulah Semar Menggugat para pemimpin bangsa untuk membantu rakyat,untuk memikirkan persatuan bangsanya bukan mementingkan kekuasaan,tetapi pikirkanlah rakyat
 

Namun yang diharapkan Semar ternyata tidak dapat terlaksana karena Semar Menggugat ke Astina,dimana para pejabatnya ternyata malah merasa senang dengan Bencana yang menimpa Amarta.dimana rasa sosialisme memang sudah tidak ada lagi di Astina,dimana justru memanfaatkan bencana alam itu untuk memenangkan kekuasaan.
 

Sebagai gambaran hilangnya Nasionalisme dan Sosialisme Bangsa,dimana para pemimpinnya hanya memikirkan uang uang dan uang untuk keluarganya sehingga tanpa malu malu memamerkan kekayaan hasil korupsinya ditengah rakyat yang menderita.
 

Wakil rakyat tidak pernah berjuang membela rakyat ,malah bertengkar dalam sidang dengan otot bukan dengan otak karena otaknya hanya terpikirkan komisi yang bakal diterimanya bila menyetujui undang undang yang tidak pernah dibuatnya sendiri.
 

Wakil rakyat yang menerima berbagai fasilitas negara,mendapat gajih yang sangat tinggi disamping berbagai tunjangan pribadi,masih juga menerima komisi walaupun kerjanya hanya tidur dikursi dan terlelap dalam mimpi.
 

Pejabat yang sikapnya selalu hebat namun dibuat buat,kalau janji enggak pernah tepat,walau sebenarnya tak pernah berbuat untuk rakyat karna sesungguhnya dia hanyalah penjahat yang mengembat uang negara ya uang rakyat

sumber : http://caritawayang.blogspot.co.id/2013/06/semar-gugat.html

Lanjutan Ki SUGINO SISWOCARITO - BAWOR DADI RATU

Lanjutan Ki SUGINO SISWOCARITO - BAWOR DADI RATU


Ki SUGINO SISWOCARITO - BAWOR DADI RATU

Ki SUGINO SISWOCARITO - BAWOR DADI RATU


Minggu, 20 November 2016

Ramayana : Tragedi Kiskenda

Ramayana : Tragedi Kiskenda

Syahdan di istana Jonggringsalaka, kahyangan Suralaya. Raja Tribuana, Batara Gurutengah menggelar sidang paripurna para dewa. Dalam sidang tersebut, Sanghyang Guru membicarakan perihal ancaman Prabu Maesasura, raja siluman negara Goakiskenda yang telah ditolak lamarannya atas Dewi Tara, putri Batara Indra yang bersemayam di kahyangan Kaindran.

Sabda Sanghyang Girinata di dampar kencana mercupunda.
“Batara, Dewata, Jawata Sangsanga. Bersiaplah kalian untuk menghadapi kemungkinan ancaman Maesasura yang akan membuat kerusuhan di kadewatan Suralaya, karena lamarannya terhadap Dewi Tara telah ditolak. Kepada Indra, aku tugaskan memegang tanggungjawab memimpin pasukan kadewatan dalam menghadapi kekuatan balatentara siluman Goakiskenda yang akan membuat kerusuhan, mengganggu ketentraman Suralaya.”

Para dewa segera melaksanakan perintah Raja Tribuana, mereka lalu mempersiapkan diri menyongsong raja Duramaka yang berniat buruk terhadap ketentraman kadewatan. Batara Narada, Batara Bayu, dan Batara Brahma, ikut serta mendampingi Batara Indra.

Gebyar Jagatpramudita. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap. Tiba-tiba Candradimuka menggelegar memuntahkan lahar panasnya. Asap hitam gimbalnya menggumpal di angkasa, menaungi kahyangan Suralaya, sebagai tanda akan terjadi huru-hara di kahyangan.

Tidak lama setelah kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya disertai asap hitam dan suara yang menggetarkan, dari arah gerbang Selamatangkep, dua duruwiksa penjaga gerbang kadewatan, Cingkarabala dan Balaupata berlarian menuju alun-alun kahyangan Suralaya. Keduanya melaporkan kepada Batara Narada bahwa balatentara siluman Goakiskenda telah terlihat sedang bergerak menuju kahyangan Suralaya.

Batara Narada dan Batara Indra memberi perintah kepada pasukan kadewatan agar secepatnya menghadang pasukan Goakiskenda di lereng gunung Mahameru. Batara Indra menghindari pertempuran di dalam lingkungan kahyangan, karena dikhawatirkan akan merusak tatanan Suralaya. Pasukan kadewatan yang dipimpin Batara Indra segera melesat terbang menyambut kedatangan musuh.



Di lereng gunung Mahameru, pasukan kadewatan telah menghadang pasukan Goakiskenda. Dua kubu siap tempur sudah saling berhadapan, mereka telah siap menunggu perintah dari pimpinan mereka masing-masing.

"Oladalaa… Maesasura! Kau telah berani mengancam ketentraman Suralaya. Hyang Otipati akan menghukum perbuatanmu. Ingat Maesasura! Dulu Manikmaya pernah menaklukan Goakiskenda dan mengampunimu. Untuk itu, sebelum semuanya terlanjur, lebih baik kau dan seluruh pasukanmu kembali ke Goakiskenda." Batara Narada mencoba mengingatkan Prabu Maesasura, agar raja Duratmaka itu membatalkan maksudnya yang ingin membuat makar di kadewata.

Maesasura dan Lembusura adalah dua siluman raksasa kakak beradik penghuni kerajaan Goakiskenda. Maesasura menobatkan dirinya menjadi raja di Goakiskenda, dan Lembusura diangkat menjadi patihnya. Nama Maesasura sendiri mengandung arti, Maesa = Kerbau, Sura = Berani atau sakti. Wujud Prabu Maesasura adalah raksasa berkepala Kerbau. Sedangkan Lembusura berwujud raksasa berkepala Sapi, sesuai dengan namanya, Lembu = Sapi, Sura = Berani atau Sakti. Prabu Maesasura memiliki tunggangan seekor singa bermuka raksasa bernama Jatasura.

Rakyat Goakiskenda adalah sebangsa siluman binatang yang beraneka rupa bentuknya. Dahulu, sewaktu Sanghyang Manikmaya baru dinobatkan menjadi Raja Tribuana oleh Hyang Tunggal, kerajaan Goakiskenda pernah dijajah. Maesasura dan Lembusura pernah ditaklukan oleh Hyang Manikmaya. Dan ternyata keduanya masih menyimpan dendam, ingin membalas kekalahannya, maka keduanya berguru kepada seorang resi sakti mandraguna yang bernama Resi Wisalodra. Agar daya kekuatan dan kesaktian mereka berlipat ganda sukar ditandingi, keduanya lalu menyatukan jiwa. Dua wadag dalam satu jiwa. Jika yang satu mati, maka yang satunya lagi akan menghidupkan.

Prabu Maesasura mendengus, geramannya menggetarkan bumi yang dipijak. “Huahahaha… Hei para dewa! Kalian pikir cuma kalian yang digjaya! Kalau dulu Manikmaya pernah menaklukan Kiskenda, kini aku datang untuk membalas kekalahan itu! Katakan pada si Manikmaya, serahkan Dewi Tara kepadaku atau kahyangan akan aku tumbuhi gelagah alang-alang!”

Perkataan Prabu Maesasura membuat telinga Batara Indra menjadi panas, dengan mengendarai gajah perang Erawata, Batara Indra maju ke depan.

"Jumawa! Lancang mulutmu, Maesasura! Hari ini akan ku antar kematianmu, melebur bersama nafsu angkaramu di panasnya kawah Candradimuka!"

Dua pasukan langsung saling serang ketika pimpinan mereka masing-masing memberi perintah tempur. Perang pun terjadi di lereng gunung Mahameru, dahsyatnya membuat suasana sekitar lereng menjadi porak poranda. Batara Indra yang menunggangi gajah perang Erawata melesat ke udara, disusul oleh Prabu Maesasura dengan menunggangi Jatasura. Mereka terlibat perang tanding di angkasa, sama-sama saling adu kesaktian dan saling adu senjata pusaka.


Pasukan siluman Goakiskenda yang telengas dan beringas terus merangsak menggempur pasukan kadewatan bersama Mahapatih Lembusura. Walau pasukan kadewatan melepas pusaka-pusaka dan daya-daya kesaktian, namun Lembusura yang mengamuk membabi buta membuat pasukan kadewatan terdesak.

Di atas tebing yang menjulang tinggi, Batara NaradaBatara Bayu, dan Batara Brahma memperhatikan jalannya peperangan. Setelah melihat kekuatan pasukan lawan mampu mendesak pasukan dewa, Batara Narada memberi isyarat kepada Batara Bayu dan Batara Brahma untuk segera terjun ke gelanggang perang. Bayu dan Brahma langsung melesat terjun ke palagan yuda. Kehadiran keduanya membuat pasukan Kiskenda berbalik terdesak oleh kesaktian Batara Bayu dan Batara Brahma.

Batara Bayu mengeluarkan aji Bayubajra yang menimbulkan angin topan prahara yang sangat dahsyat. Benteng topan itu menghantam pasukan Goakiskenda hingga balatentara siluman banyak yang gugur, hancur dan bermentalan dihempas gelombang angin. Lembusura menerjang menghadapi kekuatan Bayu. Benteng topan Bayubajra ditabrak hingga berbalik arah menghantam Batara Bayu. Dewa penghuni kahyangan Panglawung itu dihantam oleh kekuatannya sendiri, ia terpental jatuh menghantam bebatuan gunung hingga longsor.

Disaat yang sama, di atas angkasa Batara Indra melepas pukulan halilintar. Gelegar kilat menjilat tubuh Prabu Maesasura hingga tubuh raksasa itu jatuh dari punggung Jatasura. Begitu pula dengan Jatasura yang lengah karena melihat rajanya jatuh, ia pun luruh dihantam pusaka Bajra oleh Gajah Erawata. Maesasura dan Jatasura jatuh ambruk di tengah-tengah pertempuran. Pasukan kadewatan bersorak melihat raja siluman Kiskenda telah roboh dihantam halilintar Indra, tetapi sorak para dewa hanya sekejap, sebab mereka melihat Prabu Maesasura kembali bangkit dari kematiannya.

Batara Brahma mengeluarkan aji Banaspati. Api menyala keluar dari tubuh Brahma. Api Banaspati membumbung kian membesar dan kemudian melesat hendak menghantam Lembusura, namun Prabu Maesasura yang telah berdiri tegar menerjang dan menendang Banaspati hingga api Brhama membuyar menghantam balik kearah pasukan kadewatan. Para dewa menjerit terbakar api Brahma. Batara Indra dengan cepat melepaskan pusaka Chandrasa melindungi pasukan kadewatan. Seketika hujan turun deras memadamkan kobaran api. 

Hiruk pikuk pertempuran menyamarkan pandangan mata. Kabut gunung, asap, api, debu dan derasnya hujan dimanfaatkan oleh Prabu Maesasura untuk menerobos masuk ke dalam kahyangan. Dengan menggunakan aji halimun, Maesasura dan Jatasura pergi meninggalkan medan perang, mereka menembus gerbang Selamatangkep. Secara diam-diam mereka menyelinap ke kahyangan dan terus menerobos masuk mencari wisma Papariwarna, tempat bersemayamnya para bidadari.

Perang masih berkecamuk, para dewa dan siluman saling begalan pati, begitu pula dengan Lembusura yang bertarung menandingi Brahma, tetapi Batara Indra sendiri merasa curiga ketika ia tidak lagi mendapati Mahesasura dan Jatasura dalam hiruk pikuknya pertempuran. Nalurinya mengatakan bahwa putrinya tengah menghadapi bahaya, maka ia segera melesat menuju kahyangan Suralaya.

Di kahyangan Suralaya, Batara Indra sangat marah ketika melihat para bidadari berteriak-teriak ketakutan, berhamburan keluar dari wisma Papariwarna. Prabu Maesasura telah berhasil menculik Dewi Tara, putri Batara Indra itu telah tergolek pingsan di bahu kiri Prabu Maesasura.




"Bedebah licik! Kalian memang sebangsa Duratmaka yang tidak memiliki tatakrama!"

Perang tanding kembali terjadi antara Batara Indra dan Prabu Mahesasura, tetapi Indra menjadi kebingungan ketika ia hendak mengeluarkan kesaktian halilintar, sebab putrinya berada dalam cengkeraman lawan. Prabu Maesasura tidak menyia-nyiakan kesempatan, Batara Indra ditanduk, dan Gajah Erawata di tendang hingga mental. Melihat Indra dan Erawata masih terkapar, Prabu Maesasura segera pergi meninggalkan kahyangan. Ia melesat terbang bersama Jatasura.

Sementara itu Lembusura yang sedang menghadapi kesaktian Brahma beberapa kali dihantam dengan aji Banaspati. Batara Bayu tidak tinggal diam, ia membantu Brahma dengan aji Bayubajra. Api dan angin saling menggulung melabrak Lembusura. Mahapatih Goakiskenda itu ditangkap dan digelandang oleh Batara Bayu dan Brahma, kemudian Lembusura ditusuk dengan Pacanaka hingga tubuhnya robek. Pada saat bersamaan dari atas angkasa, Prabu Maesura yang telah meninggalkan kahyangan melihat Lembusura sedang digelandang para dewa, Prabu Maesasura dan Jatasura menukik menerjang Batara Bayu dan Batara Brahma. Kedua dewa itu dihantam dengan pusaka Gada, lalu dari mulut Prabu Maesasura keluar kobaran api yang sangat besar, menandingi api Brahma. Para dewa tersurut mundur menghindari ancaman Maesasura.

Lembusura yang telah terkapar kemudian disentuh oleh Maesasura, seketika Mahapatih Goakiskenda sembuh dari kematiannya. Prabu Maesasura kemudian memberi isyarat kepada Lembusura untuk menarik pasukan kembali ke Goakiskenda.

Batara Indra dengan Erawatanya baru sampai ketika Prabu Maesasura bersama pasukannya telah pergi meninggalkan medan perang. Batara Indra berniat mengejar pasukan Kiskenda tetapi Batara Narada mencegah. Batara Narada menyarankan agar Indra menarik pasukannya kembali ke Suralaya dan melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja Tribuana.

Batara Narada memanggil Hyang Baruna, ia meminta tolong untuk menyembuhkan dan menghidupkan kembali para dewa yang pingsan dan palastra dengan Tirta Kamandalu.


Merasa kewalahan menghadapi Maesasura dan Lembusura, Batara Guru dan Batara Narada turun ke Arcapada mencari jago dewa yang dapat mengalahkan Prabu Maesa Sura dan Lembu Sura Batara Guru menaiki lembu Andini sedangkan Batara Narada mengikuti kepergian Batara Guru.

Sesampai di atas sungai Yamuna Batara Guru melihat cahaya sebesar lidi aren yang  memancar kelangit. Ternyata pancaran cahaya berasal dari Dewi Anjani yang sedang bertapa . Batara Guru iba hatinya melihat Dewi Anjani jarang sekali  mendapatkan makanan yang masuk dalam mulutnya. Batara Guru memetik daun sinom atau daun  asam yang masih muda, dan melemparkan kedepan mulut Dewi Anjani. Melihat ada makanan dihadapannya, Dewi Anjani  segera melahapnya. Apa yang terjadi.

Dengan kesaktian Batara Guru, Dewi Anjani menjadi berbadan dua, wajah dan anggota badan yang berwujud kera kembali menjadi seorang dewi yang cantik jelita. Kelak Dewi Anjani melahirkan seorang anak berwujud kera putih, yang diberi nama Anoman.   Batara Guru  memanggil beberapa bidadari untuk memberi pakaian dan merias wajahnya. Kemudian Batara Guru memerintahkan para bidadari untuk membawa Dewi Anjani ke kahyangan.

Batara Guru  dan Batara Narada melanjutkan perjalanan ke hutan Sunyapringga menemui Subali yang sedang bertapa ngalong disebuah pohon besar. Subali dibangunkan dan diajak menemui Sugriwa. Mereka akhirnya bertemu dengan Sugriwa. Batara Guru menitahkan kepada Subali dan Sugriwa untuk menyelamatkan Dewi Tara yang diculik Prabu Maesasura dan Lembusura. Dan jika berhasil, akan diberi hadiah Dewi Tara untuk diperistri. Setelah memberikan pesan – pesan Batara Guru dan Batara Narada kembali ke kahyangan.


Tak berlama-lama, segeralah mereka menuju ke Goa Kiskenda. Sesampainya di Goa Kiskenda mereka dihadang pasukan Kiskenda, setelah melalui pertempuran sengit akhirnya mereka dapat mengalahkan para pasukan Goa Kiskenda dan berhasil membebaskan Dewi Tara. Demi keselamatan Dewi Tara, Subali member tugas pada Sugriwa untuk membawanya keluar dari goa terlebih dahulu sementara Subali akan menghadapi Maesasura dan Lembusura.

Subali gundah hatinya  Didalam hati ia tidak yakin  mereka bisa mengalahkan Prabu Maesasura dan Lembusura, sedangkan para dewa saja  tidak sanggup untuk mengalahkannya. Subali berpesan kepada Sugriwa menunggu didepan pintu goa saja. Sedangkan Subali sendiri yang akan melawan Prabu Maesasura dan Lembusura. Apabila nanti ada darah merah yang mengalir ke pintu goa, berarti Subali dapat mengalahkan Maesasura dan Lembsura. Dan apabila ada darah putih yang mengalir kepintu goa, adalah pertanda Subali mati  dan diminta Sugriwa menutup pintu goa. Sugriwa menangis mendengar pesan kakaknya namun Sugriwa siap melaksanakan perintahnya.  Seperti kita ketahui Subali berdarah putih disamping Begawan Bagaspati dan Prabu Puntadewa.

Mendengar kegaduhan yang terjadi Prabu Maesasura dan Lembu Sura keluar dari istana. Mereka mendapati Dewi Tara sudah hilang dan hanya ada seorang manusia kera yang ada di hadapannya, ya Subali. Kontan  meledaklah amarah Maesasura dan Lembusura. Tanpa basa-basi mereka langsung mengroyok Subali. Kali ini lawan Subali  sangat tangguh, berkali-kali Prabu Maesasura tewas, kemudian dilompati Lembusura, Prabu Maesasura hidup kembali demikian pula sebaliknya.

Dengan sisa tenaga yang ada Subali segera membenturkan kedua kepala musuhnya sehingga hancur berkeping-keping. Darah dan otak prabu Maesasura dan Lembusura mengalir kesepanjang goa. Sugriwa yang waktu itu  termangu menunggu kakaknya terkejut melihat darah merah dan darah putih mengalir bersama sama ke pintu goa. Sugriwa menangisi kematian kakaknya. Sugriwa berpikir bahwa kakaknya, Subali tewas, setelah berhasil mengalahkan Maesasura dan Lembusura, terbukti ada darah merah yang mengalir bersama darah putih kakaknya.

Sesuai pesan kakaknya Sugriwa  menutup pintu goa dengan batu-batuan. Sugriwa pergi ke kahyangan untuk menyerahkan Dewi Tara dan melaporkan kejadian yang telah terjadi di Goa Kiskenda. Di kahyangan,  Sugriwa diterima Bathara Guru. Menurut Batara Guru, Batara Guru akan menganugerahkan  Dewi Tara kepada Sugriwa untuk menjadi istrinya. Dengan berat hati Sugriwa menerimanya, karena ia merasa yang lebih berhak adalah Subali. Sugriwa bersama Dewi Tara kemudian meninggalkan kahyangan menuju goa Kiskenda.

Sementara itu Subali terjebak dalam goa. Subali marah karena adiknya berbuat curang padanya. Subali lupa dengan pesan pesan yang diberikan pada adiknya. Subali  bersemadi mohon pertolongan dewa untuk membuka pintu goa. Dengan kekuatan penuh Subali menghantam batu-batuan hingga hancur berkeping-keping.

Setelah keluar dari goa, Subali berangkat  ke kahyangan  menemui Batara Guru. Subali melaporkan semua kejadian pada Batara Guru. Batara Guru tidak bisa berbuat apa-apa. Karena  Dewi Tara sudah terlanjur diberikan kepada Sugriwa, karena Subali dianggap sudah tewas. Namun Batara Guru tidak akan melupakan jasa Subali. Diberikannya kepada Subali aji Pancasona yang mempunyai kekuatan hebat. Aji Pancasona menjadikan pemiliknya menjadi sakti dan tidak mati apabila tubuhnya  menyentuh tanah.

Sementara itu Sugriwa dan Dewi Tara telah bersemayam di Goa Kiskenda. Tidak lama kemudian Subali memasuki istana Goa Kiskenda,  melihat adiknya sedang bersanding dengan Dewi Tara, Subali langsung menarik Sugriwa dan memukulnya.

Ditariknya tubuh Sugriwa sehingga keluar dari goa. Perkelahian terjadi antara kedua kakak beradik. Keduanya tidak ada yang mau mengalah sehingga perkelahian mereka berlangsung sampai beberapa hari beberapa malam. Subali sangat geram. Tubuh Sugriwa akhirnya dilempar jauh keluar wilayah Goa Kiskenda. Sugriwa jatuh di hutan Pancawati.

sumber : http://caritawayang.blogspot.co.id/2012/11/tragedi-kiskenda.html